Ada suatu gerakan baru dalam tren kuliner dunia yang sedang heboh diperdebatkan belakangan ini, yaitu Living Food Diet (atau sering disebut juga Raw Food Diet). Pengikut gerakan ini percaya bahwa makanan terbaik bagi tubuh dan jiwa manusia adalah makanan yang tidak dimasak!
Lupakan gerakan vegan, karena gerakan ini jauh lebih ekstrem dari sekadar menjadi vegetarian. Bagi penganut paham raw food yang fanatik, makanan terbaik adalah buah, sayur, kacang-kacangan dan biji-bijian yang segar, organik, tidak pernah di bekukan, dan mentah!
Sebenarnya paham ini tidak baru-baru amat karena jejak sejarahnya dapat kita telusuri hingga tahin 1839 saat Sylvester Graham (pioner gerakan vegetarian di Amerika) menulis sebuah artikel yang menekankan sebuah ide bahwa manusia tidak akan pernah sakit jika manusia hanya mengkonsumsi makanan mentah. Meskipun ini adalah ide yang sangat kontroversial di zaman itu (bahkan ia pernah menerima ancaman pembunuhan dari kalangan butcher/pejagal), artikelnya disambut luas karena ia berargumentasi bahwa sebelum menemukan api, manusia purba juga dulu bergantung pada makanan mentah dan mereka bisa "survive" dengan diet itu hingga mampu menghasilkan keturunannya, kita sampai saat ini.
Ide ini kemudian juga disokong oleh Artturi Vertanen seorang pemenang Nobel di bidang biokimia yang membuktikan secara ilmiah bahwa enzim penting yang ada di dalam makanan mentah keluar saat makanan tersebut dikunyah, dan enzim tersebut bersama dengan enzim yang diproduksi tubuh kita akan berpadu dan menghasilkan manfaat paling optimal bagi tubuh kita. Namun enzim yang bermanfaat ini justru akan rusak atau hilang saat makanan dipanaskan paa suhu 46 derajat - 48 derajat C.
Menurut penyokong ide ini, proses pemanasan dapat merusaka kualitas makanan karena serat-serat alaminya akan "putus", kadar oksigen akan hilang, beberapa vitamin yang peka akan panas seperti vitamin C juga akan rusak, dan radikal bebas akan terbentuk. Proses pembekuan juga diyakini akan mengubah kualitaas enzim alami yang terkandung dalam bahan makanan yang kita makan. Bahkan untuk bahan kacang-kacangan dan biji-bijian, menurut mereka tidak perlu dimasak. Cukup direndam dalam air hingga lunak dan lalu dimakan begitu saja.
Banyak orang yang menyakini kesaktian diet ini bersaksi bahwa cara makan yang baru ini bisa mengubah mereka luar dalam. Menjadi lebih langsing, lebih sehat, lebih berenergi, stamina meningkat, lenyapnya bau badan dan bau mulut, jarang sakit, kulit lebih halus, dan tampak lebih muda adalah sebagian dari banyak manfaat yang sering disampaikan oleh para penganut ide ini.
Dan makanan mentah seperti ini bukan berarti harus tudaj enak, lho! Justru gerakan ini mendapatkan momentumnya sejak banyak selebriti dan chef terkenal yang menyokongnya sehingga orang melihat ide ini sebagai sesuatu yang trendy, funky, namun juga yummy. Bahkan Charlie Trotter salah satu Celebrity Chef terkenal dari Chicago menerbitkan satu buku resep yang khusus memuat ide-ide, teknik, dan resep baru untuk mengolah makanan mentah ini.
Resep-resepnya agak unik memang, ada pad thai yang menunya dibuat dari daging kelapa mudaa, ada burrito yang diganti dengan selada, dan lain-lain. Yang jelas, semuanya tidak dimasak, semuanya segar, semuanya alami, dan tidak menggunakan bahan pengawet, bahan pewarna, maupun bahan perasa. Pokoknya harus as fresh as possible agar manfaatnya bagi tubuh menjadi optimal!
Tapi apa benar sih makanan mentah ini segitu hebatnya?
Kelompok yang menentang ide ini berpendapat bahwa makanan mentah justru dapat membahayakan kesehatan karena bakteri berbahaya seperti Salmonella dan E, Coli (plus yang sedang rame sekarang ini: avian flu virus) bisa malah merajalela di dalam tubuh.
Makanan yang dimasak dengan baik adalah satu-satunya cara untuk memastikan agar bakteri dan virus ini tidak mencemari apa yang kita makan.
Menjalani diet ini juga tidak mudah, bahkan bisa jadi mahal sekali jika kita ngotot menggunakan sayuran dan buah organik saja. Proses penyiapan makanan mentah ini juga lebih sulit dan lama karena melibatkan banyak proses memotong, mencincang, mem-blender, merendam, dll, agar makanan tersebut nantinya lebih mudah dicerna perut. Bumbu alami seperti jahe, bawang merah, bawang putih, cabe, rempah-rempah, dan herbs juga cenderung lebih banyak digunakan sehingga sedikit lebih merepotkan. Lebih merepotkan lagi karena makanan seperti ini tidak bisa disimpan lama sehingga harus
disiapkan setiap kali kita mau makan.
Dan jika Anda tipe orang yang makan siangnya bergantung pada apa yang tersedia di kantin kantor, pola makan mentah seperti ini tentu juga bisa menyulitkan karena pilihan Anda biasanya cenderung terbatas; apalagi jika Anda berkantor di Jakarta.
Menurut ahli gizi, diet seperti ini juga kurang cocok bagi wanit ahamil, anak-anak, dan orang yang membutuhkan protein tinggi karena asupan protein dan daging susum telur, dan ikan jauh lebih mudah diterima dan diserap oleh kebanyakan orang.
Asupan gizi yang seimbang dari cooked food juga cenderung lebih mudah diterima karena lewat proses masako yang kreatif, makanan yang dimasak bisa lebih mudah membangkitkan selera dibanding makanan mentah. Jika ada komponen vitamin atau mineral yang hilang dari proses pemanasan, toh kita masih bisa menambahnya dengan asupan jus buah dan sayuran serta suplemen makanan lainnya.
Saya pribadi masih agak sulit untuk menerima dan mengadopsi raw food diet ini. Namun ide dasarnya sangat menarik karena kita yang hidup di zaman modern ini memang memiliki pola makan yang kurang baik sehingga asupan buah dan sayuran yang segar akan dapat membantu kita untuk menjalani hidup yang lebih baik, dan lebih nyaman jika kita menggabungkan antara diet cooked food dan raw food ini dengan caara menambah porsi buah dan sayuran agar dalam diet kita sehari-hari.
Sumber: Male Emporium