JAKARTA, KOMPAS.com — Kebanyakan orang berpendapat, anak merupakan tanggung jawab ibu karena ayah mencari nafkah. Pertimbangkan lagi pandangan ini! Sebab, absennya ayah dalam proses pendidikan terbukti memiliki dampak luar biasa bagi perkembangan anak.
Menyerahkan pendidikan anak hanya kepada ibu tampaknya harus dikaji ulang. Kalau sambil bercanda, kita bisa bilang, "Bikinnya berdua, kok setelah jadi si istri disuruh bertanggung jawab sendiri?” Memang ada beberapa alasan serius yang perlu dipertimbangkan ulang.
Pertama, anak merupakan buah cinta yang direncanakan dan diinginkan bersama antara suami dan istri, yang kehadirannya diharapkan dapat mengokohkan dan memperteguh hubungan mereka sebagai sebuah keluarga. Dengan demikian, keberadaan anak merupakan tanggung jawab suami istri bersama-sama.
Kedua, pembagian kerja secara seksual (sesuai dengan jenis kelamin), urusan publik (mencari nafkah) menjadi tanggung jawab ayah dan urusan domestik (mendidik anak dan mengurus rumah tangga) menjadi tanggung jawab ibu, kini tidak relevan lagi. Kebanyakan ibu kini juga bekerja, di luar ataupun di rumah, untuk menghasilkan uang. Tidak tepat lagi jika pendidikan anak dipasrahkan hanya kepada ibu.
Ketiga, dalam proses tumbuh kembang, ternyata anak-anak membutuhkan kehadiran ayah dan ibu sebagai patron atau panutan dan sumber kasih sayang.
Ayah kadang-kadang
Di Jepang, sebagian orang mencemaskan pertumbuhan anak-anak kota besar yang timpang akibat absennya ayah dalam proses tumbuh kembang generasi kristal itu. Mereka hidup serumah, tetapi pagi-pagi sekali ketika ayah belum bangun, anak sudah berangkat sekolah. Malam hari ketika anak sudah tidur, sang ayah baru pulang.
Begitu kehidupan mereka setiap har sehingga anak-anak tidak punya kesempatan bertemu ayahnya. Dikhawatirkan anak-anak di negara paling makmur di Asia itu bahkan menyaksikan (yang berarti belajar) bagaimana ayah dan ibu berinteraksi pun tidak pernah bisa.
Jika demikian, apakah mereka bisa diharapkan mengerti bagaimana laki-laki dan perempuan berinteraksi secara baik? Lebih dari itu, bagaimana anak-anak dapat tumbuh sebagai pribadi yang utuh dan kuat jika kehadiran ayah nol besar?
Penggambaran situasi semacam itu mungkin berlebihan. Namun, hal itu bisa menjadi peringatan bagi orangtua yang mengharapkan anak-anak tumbuh sehat fisik dan mentalnya agar tidak mengabaikan kebutuhan anak akan kehadiran ayah.
Di Indonesia, kita bisa menyaksikan banyak pria yang hanya kadang-kadang saja menjadi ayah. Mengapa disebut kadang-kadang karena sehari-hari mereka tidak memberikan kontribusi terhadap kebutuhan anak saat menghadapi proses belajar dan pembentukan diri. Hanya kadang-kadang saja mereka teringat dan terlibat dalam urusan anak.
Hal itu terjadi akibat perceraian ataupun lemahnya komitmen ayah terhadap proses tumbuh kembang anak. Lain dengan di Barat, orangtua yang bercerai masih bisa berbagi dalam hal mengurusi anak, di Indonesia perceraian umumnya tidak memerhatikan hak anak. Kalaupun ada perhatian, sebatas soal biaya anak yang dikemukakan. Karena itu, kalau terjadi perceraian, biasanya anak kehilangan salah satu orangtuanya.
Berdampak buruk
Ada sejumlah hasil penelitian yang memperlihatkan efek ketidakhadiran ayah, seperti dikutip menweb.org. Dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari Children’s Psychiatric Hospital, University of Michigan, AS, dari 144 sampel anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai, ditemukan tiga masalah utama.
Sebanyak 63 persen anak mengalami problem psikologis subyektif, seperti gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi. Sebanyak 56 persen kemampuan berprestasinya rendah atau di bawah kemampuan yang pernah mereka capai pada masa sebelumnya. Sebanyak 43 persen melakukan agresi terhadap orangtua.
Dalam studi yang dilakukan khusus terhadap anak-anak perempuan, ditemukan hasil yang kurang lebih sama: 69 persen mengalami problem psikologis, 47 persen punya masalah akademis, dan 41 persen melakukan agresi terhadap orangtuanya.
Dalam Journal of Divorce Harvard University, AS, Rebecca L Drill, PhD, mengatakan, "Akibat perceraian orangtua dan absennya ayah, setelah itu memiliki dampak luar biasa negatif terhadap perasaan anak. Sebagai contoh, perceraian orangtua dan kehilangan ayah terbukti berkaitan erat dengan kesulitan anak melakukan penyesuaian di sekolah, penyesuaian sosial, dan penyesuaian pribadi.”
Singkat kata, tanpa mengabaikan hasil-hasil penelitian lain yang memperlihatkan bahwa anak yang orangtuanya bercerai dapat berhasil dalam hidupnya, absennya figur ayah dalam kehidupan anak memiliki dampak yang buruk terhadap anak. Karena itu, sebaiknya para ayah tidak under estimate atau menilai diri terlalu rendah menyangkut perannya dalam proses tumbuh kembang anak.
Mulai hari ini
Jika Anda, para ayah, merasa memiliki komitmen yang rendah terhadap proses pendidikan anak sehingga hubungan antara ayah dan anak menjadi kurang dekat, buang jauh-jauh ide "sudah telanjur” dari benak Anda!
Prof Rob Palkovitz, konselor dan penulis buku tentang keterlibatan ayah, mengingatkan, "Hentikan berpikir tentang masa lalu dan pusatkan perhatian Anda pada ke mana Anda ingin melangkah!”
Berikut ini beberapa saran Palkovitz berdasarkan hasil risetnya, interaksinya dengan empat anaknya, dan pengalamannya membantu anak-anak yang ayahnya absen dari sisi mereka:
1. Pusatkan perhatian pada hal-hal yang benar dan positif bagi Anda dan anak. Sebagai contoh, katakan kepada diri Anda sendiri, "Betapa membanggakannya Ayah bekerja keras untuk menghidupi keluarga,” tanpa tambahan apa pun, dan betapa berbedanya kalau ada tambahan, "Tetapi, alangkah lebih baiknya kalau Ayah lebih sering berada di rumah." Sebaliknya, bicaralah kepada anak Anda, "Betapa bangganya menjadi ayahmu, Nak,” tanpa pernah menambahkan kalimat, “Tetapi, akan lebih membanggakan kalau kamu bisa membereskan kamarmu.” Jika Anda dapat memahami kedua hal tersebut, berarti dua langkah membangun hubungan sudah Anda lalui.
2. Butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun hubungan. Karena itu, pahami saat ini Anda berada di titik mana dan ingin menuju ke titik mana.
3. Kehidupan ini dibangun oleh jutaan "sekarang juga". Jika Anda ingin membangun hubungan baik dengan anak-anak, mulailah sekarang juga.
4. Pikirkan kalimat apa yang ingin diucapkan oleh anak-anak ketika mereka meninggalkan rumah: “Ayahku selalu...” Kata-kata apa yang Anda inginkan diucapkan anak-anak untuk melengkapi kalimat tersebut, maka itulah jalan untuk memulai perubahan sikap Anda sendiri. Mau jadi ayah yang baik?
Kriteria ayah yang baik
Dalam bukunya yang berjudul Involved Fathering and Men’s Adult Development: Provisional Balances, Prof Rob Palkovitz membuat kriteria tentang kualitas seorang ayah yang baik. Simak dan periksa, apakah Anda termasuk di dalamnya!
Perceraian ayah dan ibu tidak dapat menjadi alasan yang cukup untuk menilai diri baik atau tidak sebagai ayah. Sebab, meskipun ada istilah “bekas istri” atau “bekas suami,” tidak ada “bekas ayah”.
* Suportif
* Menetapkan peraturan
* Bertindak sebagai guru
* Pembimbing moral
* Menjadi model peran bagi anak
* Memiliki kesabaran
* Pendengar yang baik
* Pemberi nafkah yang baik
* Hidup sesuai dengan harapannya atas kehidupan anaknya
* Tetap ingat bagaimana rasanya menjadi anak sehingga mengerti perasaan anak
@ Widya Saraswati
Minggu, April 04, 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar